Salah satu produk yang terdaftar indikasi geografis asal Kabupaten Bantul, DIY yakni Gerabah Kasongan.
YOGYAKARTA – Direktorat Jenderal (Ditjen) Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kemenperin RI menyebut sudah ada 129 produk khas lokal yang terdaftar indikasi geografis (IG), empat diantaranya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kemenperin menilai IG bisa menekan masifnya produksi massal produk dari daerah yang sudah terdaftar.
Direktur Jenderal (Dirjen) Ditjen Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kemenperin RI, Reni Yanita mengatakan, bahwa salah satu bentuk hak kekayaan intelektual yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini adalah IG.
Reni menjelaskan, IG yaitu tanda yang menunjukkan suatu produk berasal dari daerah tertentu serta memiliki kualitas, reputasi, dan karakteristik yang khas karena faktor lingkungan geografis yang terkait dengan daerah tersebut.
“Saat ini tercatat ada 129 produk lokal Indonesia yang sudah terdaftar indikasi Geografis. Dari jumlah itu, empat diantaranya dari DIY,” katanya kepada wartawan, Rabu (24/4/2024).
Keempat produk tersebut adalah Batik Nitik Bantul, Gerabah Kasongan Bant Salak Pondoh Sleman dan Gula Kelapa Kulon Progo. Reni melanjutkan, bahwa IG dapat menjadi strategi yang efektif dalam mempromosikan dan
melindungi kekayaan intelektual dari suatu produk hasil industri unggulan dari berbagai daerah di Indonesia.
“Kalau dampaknya kita punya batik khas mungkin dari sisi produksinya, kita inginkan tidak diproduksi massal sehingga mematikan industri itu. Contoh, ketika punya batik cap, tulis dengan motif tersendiri kita tidak ingin ini diproduksi massal menjadi kain printing yang harganya lebih murah,” ucapnya.
“Kita inginkan perlindungan itu, termasuk tenun. Kita tidak mau tenun mati karena ada kegiatan usaha yang memproduksi kain sejenis tapi produksinya pakai mesin,” lanjut Reni.
Selain itu, Reni menilai IG dapat meningkatkan potensi pariwisata dan ekonomi daerah, serta
mendorong pelestarian budaya dan lingkungan. Salah satunya melibatkan agen travel untuk menawarkan apa yang menjadi unggulan di setiap daerah.
“Sebenarnya ketika ada kopi gayo orang kan ingin mencoba karena penasaran dan otomatis kita berkunjung ke sana. Sehingga IG ini bisa menarik wisatawan untuk berkunjung, sistemnya biasanya itu ditawarkan agen travel,” ujarnya.
Menyoal bagaimana cara meningkatkan jumlah IG, Reni mengaku secara konsisten memberikan fasilitas perlindungan kekayaan intelektual kepada para pelaku industri kecil menengah (IKM) melalui klinik kekayaan intelektual Ditjen IKMA yang telah berdiri sejak tahun 1998. Sedangkan untuk mendapatkan IG, pelaku IKM harus memiliki komunitas.
“Untuk mendapatkan indikasi geografis kan pasti untuk keberlanjutannya kita ingin tumbuh dari masyarakatnya sendiri. Sehingga kita butuh komunitas, seperti Batik Nitik itu tidak akan diusulkan ketika tidak ada dari bawahnya mengusulkan itu,” katanya.
Setelah itu, timnya memberikan fasilitas perlindungan IG untuk produk yang memiliki ciri khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Menurutnya, sudah ada lima produk lokasi yang difasilitasi, antara lain Tenun Gringsing dari Karangasem Bali; Tenun Doyo Benuaq Tanjung Isuy Jempang dari Kutai Barat Kalimantan Timur; Batik Tulis Nitik dari Bantul; Batik Tulis Complongan dari Indramayu dan Batu Giok dari Nagan Raya dan Aceh Tengah.
“Sehingga kabupaten kota juga harus punya yang memang menginisiasi, menggeluti usaha itu. Jadi komunitas itu sangat perlu untuk mendapatkan IG,” ujarnya.