BERITANET.ID — Mengusung semangat Menjaga Tradisi dan Merawat Budaya, Pelaku Pendamping Pengembangan UMKM dan Usaha Kreatif Masyarakat, RM Wibisono bersama kelompok Muda Berdaya Yogyakarta menjalani malam tahun baru Jawa 1 Sura atau tahun baru Islam 1 Muharam yang jatuh pada tadi malam, Sabtu Dini hari (30/7/2022) dengan ziarah makam raja-raja Mataram di Imogiri dan ‘laku topo bisu mubeng benteng’.
Kegiatan itu merupakan perjalanan keliling benteng tanpa berbicara yang diikuti sekaligus sebagai momentum untuk perenungan diri atau refleksi terhadap hidup dan kehidupannya dengan melakukan tirakat atau “lelaku”.
Tirakat yang dilakukan dengan hening itu sebagai bentuk refleksi manusia atas eksistensi dirinya. Eksistensi diri manusia yang ada karena adanya Sang Pencipta.
“Melalui perenungan diri dengan tirakat atau lelaku, saya mencoba melakukan evaluasi dan introspeksi diri, serta wujud sadar diri bahwa kita ada yang menghidupkan, yakni Tuhan,” ujar Pelaku Pendamping Pengembangan UMKM dan Usaha Kreatif Masyarakat, RM Wibisono, Sabtu (30/7/2022).
Dengan tirakat atau lelaku, masyarakat dapat melakukan evaluasi terhadap segala perilaku atau perbuatan di tahun lalu untuk introspeksi diri di tahun baru ini, serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Tirakat atau lelaku mengelilingi benteng keraton dalam keheningan total itu merupakan simbol keprihatinan sekaligus kesiapan masyarakat untuk menghadapi tahun yang akan datang.
Dengan sikap prihatin diharapkan masyarakat dapat mawas diri dan tidak berpuas diri terhadap segala sesuatu yang telah diraih pada tahun-tahun sebelumnya.
“Semoga dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan dengan meningkatkan amal ibadah ini, usaha mikro masyarakat dan kreatifitas masyarakat bisa lebih baik, lebih maju dan lebih makmur lagi,” tambahnya.
Ritual “tapa bisu mubeng beteng” merupakan tradisi yang terbuka untuk masyarakat dari berbagai kalangan yang berlangsung setiap malam 1 Sura. Pada malam 1 Sura ada banyak warga berjalan keliling benteng sejauh lima kilometer tanpa berbicara, merokok, makan atau minum.
Prosesi ‘topo bisu mubeng benteng’ ini dimulai dari melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan Letjen MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan dan berakhir di Alun-alun Utara.
Selama menjalani ritual itu, RM Wibisono memanjatkan doa memohon keselamatan lahir dan batin serta kesejahteraan bagi diri pribadi, keluarga, bangsa, negara dan warga Yogyakarta.
Sejarah
Pada awalnya “tapa bisu mubeng beteng” adalah tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi asli Jawa itu disebut “muser” atau “munjer” (memusat) yang artinya mengelilingi pusat.
Semula yang dimaksud pusat adalah pusat wilayah desa. Ketika pedesaan kemudian berkembang menjadi kerajaan, muser pun menjadi sebuah tradisi mengelilingi pusat wilayah kerajaan.
Sumber sejarah lain menyebutkan `mubeng beteng` merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng mengelilingi keraton yang selesai pada 1 Suro 1580.
Para prajurit keraton pada saat itu rutin mengelilingi (mubeng) benteng untuk menjaga keraton dari ancaman musuh, yakni Pajang. Setelah kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem keraton.
Agar tidak terkesan seperti militer, para abdi dalem itu dalam menjalankan tugasnya dengan membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar mereka diberi keselamatan.
Tradisi mubeng atau mengelilingi itu sebenarnya tidak hanya berada di seputar benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi juga terdapat tradisi mubeng kuthanegara dan mubeng mancanegara.
Keraton sebagai pusat negara dikelilingi oleh kuthanegara, dan kuthanegara dikelilingi oleh mancanegara. Mancanegara yang dimaksud adalah daerah-daerah di luar wilayah keraton tetapi berada dalam kekuasaannya.
Berhubung tradisi `mubeng beteng` lebih mudah diikuti oleh masyarakat secara luas, maka tradisi itulah yang kemudian paling terkenal dan berlangsung sampai sekarang setiap malam 1 Sura atau malam 1 Muharam.
Tirakat atau lelaku yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa pada malam 1 Suro itu hanya salah satu sarana untuk memahami hidup dan kehidupan sehingga semakin yakin bahwa semua sudah ada yang mengatur, yakni Tuhan YME.
Dengan demikian, manusia akan “narimo” (menerima dengan ikhlas) hidup dan kehidupannya. Dalam arti, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, tidak ingin memiliki sesuatu yang menjadi hak orang lain, dan tidak serakah, tetapi tetap berusaha untuk memperoleh hidup dan kehidupan yang baik. (Red)